
Menjaga Marwah Demokrasi dari Daerah : Refleksi Pemilu 2024 di kota Sawahlunto
Pemilu serentak tahun 2024 telah usai kita selenggarakan. Di Kota kecil seperti Kota Sawahlunto, pelaksanaan Pemilu tidak hanya menjadi agenda teknis, tetapi juga menjadi ruang artikulasi demokrasi yang nyata. Sebagai ketua KPU Kota Sawahlunto, saya menyaksikan secara lansung bahwa Demokrasi Indonesia dibangun bukan hanya di ruang elit pusat, tetapi justru melalui kerja keras yang sunyi di tingkat akar rumput.
Pemilu bukan sekedar seremoni lima tahunan. Ia adalah cerminan peradaban politik bangsa. Demokrasi yang subtasnsial, sebagaimana pernah ditegaskan oleh Presiden ke-3 RI, BJ Habibie, adalah demokrasi yang menjamin ruang partisipasi rakyat dalam setiap proses kebijakan. Di tengah proses pemilu yang kompleks dan penuh tantangan, semangat untuk menjaga integritas dan kedaulatan rakyat di Sawahlunto tetap terjaga dengan baik.
Partisipasi pemilih di Sawahlunto dalam Pemilu 2024 mengalami peningkatan. Hal ini patut diapresiasi sebagai indikator bahwa kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi masih terjaga. Namun, sebagaimana diingatkan oleh almarhum Gusdur, "Demokrasi bukan hanya soal memilih, tetapi soal mendengar suara rakyat yang paling kecil." Maka, tantangan ke depan tidak berhenti pada angka partisipasi, melainkan pada bagaimana memperdalam kualitas pilihan dan memperluas pemahaman politik warga.
Kami menyadari bahwa kualitas demokrasi sangat bergantung pada kualitas pendidikan politik yang diterima warga. Sosialisasi yang kami lakukan melalui tatap muka, media sosial, hingga kolaborasi dengan tokoh masyarakat menjadi upaya untuk mendorong kesadaran politik yang lebih rasional. Namun, literasi politik masih menjadi tantangan di banyak wilayah, termasuk di kota kami.
Penyelenggaraan pemilu tentu tidak terlepas dari kerja kerja teknis yang kompleks. Salah satu catatan yang penting adalah beban kerja badan ad-hoc, khususnya KPPS, yang cukup berat. Para petugas bekerja sejak dini hari hingga larut malam, bahkan dini hari berikutnya, dalam proses pemungutan suara dan penghitungan suara. Pengalaman ini menjadi pelajaran bahwa aspek teknis penyelenggaraan harus ditata ulang. Desain formulir, alur kerja, serta sistem pelaporan perlu disederhanakan tanpa mengurang akuntabilitas.
Seperti yang disampaiakan Prof. Jimly Asshiddiqie, kualitas demorasi tidak semata diukur dari partisipasi publik, tetapi juga dari bagaimana negara melayani dan melindungi hak-hak warga melalui sistem pemiluyang manusiawi. Negara harus hadir dalam bentuk kebijakanyang lebih progresif terhadap perlindungan dan kesejahteraan penyelenggara di tingkat bawah, yang menjadi garda terdepan demokrasi.
Selain itu, perkembangan teknologi telah menjadi bagian penting dari keterbukaan informasi pemilu. Aplikasi seperti SIREKAP dan kanal informasi daring KPU menjadi alat bantu yang memudahkan akses publik terhadap proses dan hasil pemilu. Namun, kami juga mencatat bahwa keterbatasan infrastruktur digital di sejumlah wilayah dan rendahnya literasi digital masih menjadi hambatan.
Perkembangan teknologi tidak serta-merta meningkatkan kualitas informasi jika tidak dibarengi dengan pemahaman. Demokrasi digital tidak cukup hanya membuka akses, tetapi juga menuntut kita membangun kapasitas warga agar dapat menggunakan akses itu dengan bijak. Dalam banyak kasus, disinformasi, hoaks, dan manipulasi opini masih membayang-bayangi proses politik digital, termasuk saat kampanye di media sosial.
Dari sisi kelembagaan, sinergi antara KPU dengan pemangku kepentingan lainnya menjadi kunci. Pemerintahan Daerah, aparat keamanan, Bawaslu, Media lokal, dan Organisasi masyarakat telah memberikan dukungan luar biasa untuk menjaga situasi tetap kondusif. Kami meyakini bahwa Demokrasi hanya bisa tumbuh jika dijaga secara kolektif, lintas institusi, dan bebas dari dominasi kepentingan politik sesaat.
Demokrasi Indonesia dibangun dari Desa-desa dan kelurahan, dari TPS yang dijaga oleh warga biasa, dari semangat kolektif untuk menjadikan suara rakyat sebagai penentu arah pembangunan. Sebagaimana dikatakan oleh Presiden ke-7 RI Joko Widodo, "Demokrasi kita harus terus diperkuat dengan etika, dengan akhlak, dan dengan tanggung jawab." Demokrasi bukan soal siapa yang menang, tetapi tentang bagaimana kita semua menjaga prosesnya tetap bermartabat.
Pengalaman Pemilu 2024 di Kota Sawahlunto menunjukan bahwa Demokrasi tidak harus mewah dan hiruk-pikuk. Ia bisa hadir dalam bentuk kesederhanaan yang jujur, kerja kolektif yang sunyi, dan komitmen moral untuk tidak menciderai suara rakyat. Ini adalah pelajaran berharga yang kami bawa dari pinggiran, sebagai kontribusi kecil namun bermakna bagi wajah Demokrasi Indonesia.
Salam Demokrasi,
Hamdani
Ketua KPU Kota Sawahlunto