Opini

Pendidikan Pemilih Berkelanjutan adalah Kunci Demokrasi yang Sehat

Pendidikan pemilih bukan sekadar agenda menjelang pemilu. Ia harus menjadi program yang berkelanjutan, terus-menerus dilakukan sepanjang waktu, bahkan di luar tahun pemilu. Karena kualitas demokrasi sangat ditentukan oleh seberapa sadar dan cerdasnya pemilih dalam menggunakan hak pilih mereka.

Sayangnya, data menunjukkan bahwa tingkat literasi politik masyarakat Indonesia masih tergolong rendah. Survei LSI (Lembaga Survei Indonesia) tahun 2024 menunjukkan bahwa hanya 37% pemilih yang benar-benar memahami tugas dan wewenang lembaga negara yang dipilih dalam pemilu. Ini artinya, sebagian besar pemilih menentukan pilihan tanpa pemahaman cukup soal siapa dan apa yang mereka pilih.

Lebih lanjut, laporan Bawaslu RI tahun 2024 mencatat bahwa masih terjadi praktik politik uang dan kampanye hitam di berbagai daerah, terutama menjelang hari pencoblosan. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian pemilih masih rentan dipengaruhi oleh janji sesaat atau informasi yang menyesatkan.

Pendidikan pemilih yang hanya dilakukan sesaat sebelum pemilu, atau sekadar formalitas sosialisasi, tidak cukup. Pendekatan ini berisiko menciptakan pemilih yang apatis, pragmatis, dan mudah dimanipulasi. Padahal, pemilih yang paham sistem politik, fungsi lembaga negara, hingga tanggung jawab etis dalam memilih adalah pondasi bagi demokrasi yang kuat dan sehat.

Program pendidikan pemilih harus menyasar semua kalangan, terutama generasi muda. Menurut data KPU RI, pemilih usia 17–39 tahun mencapai 56,45% dari total pemilih pada Pemilu 2024. Dalam skala lokal Sawahlunto pemilih usia muda tersebut mencapai  54’8 %. Jika kelompok ini tidak diberikan literasi politik yang memadai, maka potensi besar itu bisa menjadi kekuatan yang sia-sia, atau bahkan mudah dieksploitasi.

Oleh karena itu, pendidikan pemilih harus berkesinambungan dilakukan. Lembaga Penyelenggara Pemilu, sekolah, universitas, organisasi masyarakat sipil, hingga media sosial harus menjadi saluran edukasi politik yang aktif dan kreatif. Program seperti “Democracy Goes to School”, konten edukatif di TikTok’ Instagram dan youtube, hingga pelibatan pemuda dalam simulasi pemilu atau forum diskusi publik bisa menjadi solusi jangka panjang.

Dengan pendidikan pemilih yang terus-menerus, kita tidak hanya mencetak pemilih yang aktif datang ke TPS, tetapi juga warga negara yang kritis, partisipatif, dan peduli terhadap proses politik. Demokrasi yang sehat tidak tumbuh dari proses instan, melainkan dari investasi jangka panjang dalam literasi politik masyarakatnya.

Salam KPU Melayani

Rony Yandri

Anggota KPU Kota Sawahlunto

Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih Partisipasi Masyarakat & SDM

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 189 kali